http://massandry.blogspot.com
Selain Kemang, empat tahun terakhir kawasan Tebet juga menjadi area kongko anak muda di Jakarta Selatan. Tepatnya di Jl. Tebet Utara Dalam yang panjangnya sekitar satu kilometer, yang selalu tampak macet, apalagi di akhir pekan. Di kiri-kanan jalan itu bermunculan sejumlah distribution outlet (distro) dan rumah makan yang dijadikan ajang kumpul-kumpul, makan siang karyawan dan wisata belanja. Kehadiran para artis berbelanja menambah keramaian itu. Menariknya, dari sekian banyak distro yang berjejer di sana, ternyata mayoritas dimiliki oleh keluarga Kardjono.
Di bawah payung PT Endorsindo Makmur Selaras (EMS), keluarga ini menaungi seluruh bisnisnya yang dibesut sejak 2003, mulai dari distro Bloop, distro Endorse, RM Bebek Ginyo, kedai DeJons Burger, dan sebagainya. Usaha ini mempekerjakan 70 karyawan dan menggandeng lebih dari 100 pemasok.
A. Kardjono tidak sendiri dalam menjalankan roda bisnis EMS. Ia mengaku hanya sebagai supporting dan mediator. Ketiga anaknyalah yang berperan besar dalam membesarkan usaha. Mereka adalah Martin Sunu Susetyo (Martin), Berto Saksono Jati (Berto), dan Theresia Alit Widyasari (Sari). Di tangan ketiga anaknya yang masih muda dan gigih menghadapi risiko, mereka berani jatuh-bangun membangun bisnis baru. Sebaliknya, Kardjono yang sebelumnya adalah profesional di perusahaan media lebih konservatif menjajal hal baru dalam bisnis.
Minat dan kemauan tinggi adalah nilai tambah yang dimiliki ketiga anak pasangan Kardjono dan F.R. Siwi itu. “Anak-anak saya dari kecil terlihat minatnya dalam berwirausaha,“ ujar pria kelahiran Yogyakarta 10 Mei 1949 itu. Selain itu, ketiga anaknya memiliki kemampuan di bidang masing-masing. Katakanlah Martin, menonjol dalam urusan pengadaan barang, lalu Berto piawai mengurusi produksi, dan Sari kreatif dalam masalah desain pakaian.
Keluarga Kardjono mengawali debut bisnisnya di bidang distro pada September 2003. Idenya muncul dari Berto. Dengan modal Rp 50 juta dibukalah distro Bloop. Barang-barang yang dijual berasal dari pemasok Bandung yang transaksinya secara beli putus. Tak dinyana, dalam hitungan bulan distro ini laris manis, sehingga memicu kehadiran lima kompetitor yang tak rela legitnya kue bisnis distro hanya dikuasai oleh keluarga Kardjono. Seolah-olah tak mau kalah, keluarga Kardjono membuka gerai baru lagi bernama distro Endorse. Awalnya Endorse ditujukan untuk usia remaja kuliahan, sementara Bloop buat remaja SMP-SMA. Namun, lama-kelamaan segmentasi dua distro ini tidaklah berbeda.
“Kami buat seolah-olah Bloop dan Endorse bersaing,“ ujar Martin. Awal 2004, Martin juga mulai membuat merek sendiri. Sekarang distro mereka memiliki beberapa merek pakaian, seperti Endorse, Bloop, Major, dan Babo.
“Kami buat seolah-olah Bloop dan Endorse bersaing,“ ujar Martin. Awal 2004, Martin juga mulai membuat merek sendiri. Sekarang distro mereka memiliki beberapa merek pakaian, seperti Endorse, Bloop, Major, dan Babo.
Produk Bloop dan Endorse membidik segemen menengah. Untuk sepotong kaus dibanderol Rp 75-200 ribu. Produk aksesori bervariasi harganya. Yang jelas, lebih dari 100 merek yang dipajang di kedua distronya itu. Kaus adalah produk yang paling banyak dibeli. Satu gerai bisa menjual sekitar 500 potong kaus/hari atau sekitar 15 ribu potong/bulan. Ini belum termasuk omset distributor dari luar daerah yang membeli putus baju-baju dengan merek buatan Martin. “Kami punya rekanan yang membeli putus dari daerah sekitar 5 ribu potong per bulan,“ imbuh pria lulusan GS Fame Institute of Business, Jakarta ini. Asyiknya, menjelang Lebaran omset naik sampai tiga-empat kali lipat.
Menurut Martin, ada beberapa alasan yang membuat distronya tak pernah sepi pembeli. Ia mengaku kebetulan punya sejumlah teman artis sinetron. Teman-teman artis ini sering diajaknya nongkrong di distro, seperti Natalie Sarah, Nirina Zubir, dan Peggy Melati Sukma. Alhasil, orang-orang yang berkunjung ke distronya sering menjumpai para artis tersebut.
Setelah dari mulut ke mulut para artis, rupanya nama Bloop dan Endorse mulai terdengar di kalangan media. Kali ini giliran beberapa majalah remaja tertarik meminjam pakaian untuk sesi foto. Majalah distro Sueve dari Bandung juga dimanfaatkan untuk promosi. Di majalah beroplah 10 ribu eksemplar itu memuat katalog berbagai produk yang tiap edisi menampilkan koleksi dari sekitar 50 distro di Bandung dan Jakarta. Tak hanya itu. Popularitas Bloop dan Endorse pun mulai tercium di lingkungan rumah produksi, misalnya MD Entertainment, Avant Garde, Sinemart, juga Extravaganza Trans TV yang ikut-ikutan bekerja sama dengan Bloop dan Endorse.
Martin menggandeng pula para penyanyi. Beberapa artis Indonesian Idol, seperti Ichsan dan Dirly disponsorinya. Juga, grup band seperti Ada Band, Peterpan, Naif dan Nidji, memakai pula produk distronya. “Kami melakukan kerja sama kemitraan secara pribadi, bukan dengan manajemen artisnya,” ungkap lelaki kelahiran Jakarta 8 Maret 1979 itu. Bahkan, ada grup band tertentu yang secara rutin diberi pakaian koleksi distronya Martin. Paling tidak ada 150 potong pakaian setiap bulan dialokasikan untuk promosi.
Karena produk distro Bloop dan Endorse makin terkenal, maka pemasarannya pun menembus hingga ke luar Jakarta. Sebut saja Banjarmasin, Medan, Lampung dan Makassar. Bahkan, juga mulai merambah mancanegara. “Terakhir ada pembelian besar berasal dari Singapura dan Malaysia,” kata Martin dengan bangga. Saban bulan paling tidak 300-500 potong kaus yang disalurkan lewat agen tunggal Bloop dan Endorse di Malaysia dan Singapura. Buyer asing ini diduga Martin mengenal produknya dari TV yang menampilkan acara musik sejumlah band yang disponsorinya.
Martin mengatakan, dalam promosi pihaknya pernah menawarkan undian dua tiket nonton gratis Robbie Wiiliam di Bangkok. Setiap pembelian senilai Rp 100 ribu berhak satu kupon. Sayangnya, konser itu dipindahkan dari Bangkok ke Melbourne, Australia. Konsekuensinya, distronya mesti menanggung pembengkakan biaya dari jatah Rp 20 juta/orang menjadi Rp 100 juta/orang.
Sukses dengan bisnis distro, keluarga Kardjono tergelitik untuk mengepakkan sayapnya ke bisnis kuliner. Maka, dibukalah gerai DeJons Burger dan Nasi Bebek Ginyo. “Dulu, di sebelah Bloop ada warung steak, tapi sudah tutup,” ujar Martin. Lantaran khawatir bekas warung itu disewa orang lain untuk buka distro, maka Martin segera mengontraknya untuk dijadikan kafe kecil berlabel DeJons Cafe. “Selama ini yang mengelola usaha makanan ya Ibu,” kata Martin seraya menambahkan bahwa dalam perkembangannya kafe itu sepi. Nah, ketika bisnis burger booming, kesempatan itu tidak disia-siakan Martin dengan berubah haluan dari kafe kecil menjadi DeJons Burger pada Februari 2006, dengan suntikan modal Rp 150 juta. Lalu suasana kafe diubah lebih modern dan mempekerjakan seorang koki yang andal. Hasilnya? Dalam sehari, sekitar 500 burger terjual, bahkan akhir pekan bisa lebih dari 1.000 burger ludes.
Untuk RM Bebek Ginyo, konsepnya adalah Indonesia kuno yang condong ke adat Jawa. Itulah sebabnya gaya interior resto dipenuhi lukisan dan gambar tempo doeloe, juga telepon engkol jadul (jaman dulu) menghiasi ruangan restonya itu. Begitu resto dibuka Mei 2007, dalam dua minggu pertama langsung tidak cukup menampung tamu. Kemudian area diperluas dari kapasitas 60 orang menjadi 100 tamu. Lagi-lagi, teman artis Martin dimanfaatkan untuk ajang promosi restonya. Misalnya Indra Birowo, Vira Yuniar, Teuku Ryan, Kerispatih dan lainnya, yang diundang saat pembukaan gerai.
Diakui Martin, sejatinya bisnis resto keluarganya tak selalu mulus. Pihaknya pernah harus “membuang” 100 ekor bebek gara-gara setelah dipotong, ternyata ukuran bebeknya terlalu kecil dan kurang layak dijual di Ginyo. Asal tahu saja, harga satu porsi masakan bebek (keremes, bakar, cobek, goreng, dan sebagainya) Rp 14 ribu. Satu bebek dipotong menjadi empat bagian tiap porsi. Dalam sehari, ada 400-500 ekor bebek yang dipotong. Ia menambahkan, di resto ini sekitar 60% pengunjung adalah kalangan keluarga, dan 40% anak muda.
Perjalanan bisnis Berto dan Martin pun pernah mengalami jatuh-bangun. Menurut Kardjono, dulu Berto pernah gagal merintis usaha distro di daearah Kelapa Gading, kedai martabak di kawasan Pulomas, serta lembaga pendidikan bahasa asing. Sementara Martin bercerita, setelah bekerja sebagai General Purpose Attendant di kapal pesiar milik Holland America Line, pernah menjajal bisnis sapi potong yang didatangkan dari Solo. Akan tetapi, gagal karena ditipu relasi dagangnya. Setelah itu ia mencoba usaha menjadi distributor rokok. Lagi-lagi kena tipu. Toh, ia tak kapok berbisnis. Berikutnya ia terjun ke bisnis tambak udang dan bandeng di Rengasdengklok. Dalam perkembangannya, usaha ini pun tekor karena tambaknya dipanen duluan oleh orang sekitar tambak.
Ya, pengalaman gagal berbisnis membuat Martin lebih berhati-hati. Langkah pertama yang diayunkan dalam merintis bisnis baru adalah mencari tempat strategis, yang akhirnya pilihan jatuh ke daerah Tebet. Pertimbangannya, di kawasan ini banyak lalu-lalang kendaraan. Keyakinannya kian mantap lantaran di kawasan Tebet sudah ada gerai ATM BCA. “Kalau ada ATM, pasti pihak bank sudah menyurvei bahwa tempat itu memang ramai,” ujarnya sembari menjelaskan apalagi banyak artis yang tinggal di daerah Tebet.
Dalam menghadapi kompetisi, Martin tidak menampik dirinya sempat panik juga. Menurutnya, di sepanjang jalan mangkal bisnisnya, kini ada empat kedai burger. “Awalnya kami khawatir pesaing akan memakan kue kami. Tapi, ternyata tidak. Justru kehadiran banyak kedai burger menjadikan jalan ini sebagai tempat wisata belanja,” tutur pengusaha muda yang mengaku kunci suksesnya terletak pada sikap yakin, fokus dan tekun itu.
Selain waspada terhadap gempuran pesaing, secara internal keluarga Kardjono juga menguatkan konsolidasi. Bagi-bagi tugas dilakukan secara profesional dengan anggota keluarga. Martin lebih banyak mengurusi produksi, sedangkan Berto justru lebih banyak menangani manajemen bisnis. ”Kalau saya cuma sebagai penggembira,” tambah Kardjono yang memutuskan pensiun dini tahun 2005, karena diminta anak-anaknya sebagai penengah dan penasihat di bisnis keluarga itu.
Kardjono bersyukur atas usaha yang dimulai anak-anaknya. Sebab, kini di usia pensiun, ia punya kegiatan bersama keluarga. “Dari awal saya lebih pasif. Saya kan sudah bekerja lama sebagai profesional, jadi ngambil risiko itu agak takut, tapi anak-anak saya itu pemberani,” tutur pehobi nonton wayang ini. Yang jelas, ia ogah publikasi bisnis mereka terlalu gembar-gembor lantaran cemas dikejar orang pajak. “Wong kami ini mengelola usaha keluarga ya cukup untuk bayar utang saja kok,” kata Kardjono yang low profile ini berkilah.
Di mata karyawan, anggota keluarga Kardjono merupakan bos yang memiliki sifat kekeluargaan. Menurut Dwi, karyawan RM Ginyo, ia memang baru empat bulan bergabung di bisnis keluarga itu, tapi suasananya kondusif dan membuatnya betah. “Pak Kardjono juga sosok yang penuh pengertian, suka bercanda, detail terhadap kebersihan, dan mampu mengarahkan karyawan,” ujarnya memuji.
Untuk rencana bisnis ke depan, Martin mengatakan hendak berusaha memenuhi keinginan orang-orang, yakni membuka sistem waralaba. “Ada ke arah sana, tapi masih pikir-pikir dulu. Kami ingin setiap usaha ini punya cabang dulu di tempat lain, karena kami tidak mau jadi jago kandang,” kata Martin yang tergiur untuk membuka usaha tanaman hias.
Bagi Andre Vincent Wenas, yang terpenting dalam kelanggengan model bisnis distro dan resto adalah menciptakan trafik lebih dulu, yaitu lalu-lalang orang. “Bila distronya bagus, tempatnya enak, orang bisa sambil makan, kemudian juga dia bisa melihat-lihat bajunya,” ujar pengamat manajemen dan bisnis dari IPMI Business School ini. Menurutnya, harus ada sinergi dalam menciptakan trafik, sebagaimana yang terjadi di factory outlet Rumah Mode di Bandung.
Namun, Andre mengingatkan ketika trafik itu tercipta, orang mestinya bukan hanya bisa melihat baju ataupun mau makan. Melainkan, area itu bisa pula menjadi ajang orang-orang berkumpul ataupun tempat pertemuan. Misalnya, Citos (Cilandak Town Square) yang berhasil menjadi tempat kongko. Akan tetapi, dengan situasi seperti sekarang (Jl. Tebet yang sering macet), akan ada titik optimumnya. Pasalnya, orang-orang yang punya mobil akan mulai enggan datang karena tidak ada lahan parkir, sehingga pertumbuhannya akan terbatas sampai di situ. Jalan keluarnya, keluarga Kardjono perlu investasi lahan guna memperluas area parkir. “Juga, bisa memperpanjang waktu buka hingga 24 jam karena kalau malam jalanan sepi,” ia menyarankan.
bagus gan artikelnya. coba mampir ke tempat kita deh. ada gantungan kunci dari akrilik harga 4500/pcs tanpa minimal order :)
BalasHapus